Mendagri Bahas RUU Masyarakat Hukum Adat di Baleg DPR RI
By Admin
nusakini.com--Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo memahami bahwa masyarakat hukum adat perlu diberikan payung hukum yang komprehensip guna mengatur komposisi masyarakat yang ada. Mencermati dinamika yang berkembang, Mendagri menekankan agar pembahasannya di DPR dilakukan secara bersama-sama.
"Secara prinsip, Pemerintah telah melakukan harmonisasi, identifikasi, evaluasi terhadap usulan daripada RUU masyarakat yang ada," kata Mendagri dalam rapat kerja Pembahasan RUU tentang Masyarakat Hukum Adat (MHA) dengan Badan Legislasi DPR, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (19/7).
Disampaikan, banyak hal yang perlu dijabarkan dan didalami lebih lanjut terkait RUU MHA. Enam menteri yang ditunjuk Presiden mewakili Pemerintah, yakni Kemendagri, Menkumham Yasonna Laoly, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar dan Menteri PDTT Eko Putro Sandjojo, secara kolektif mendukung terhadap terbitnya RUU MHA.
Payung hukum ini untuk memperkuat masyarakat hukum adat itu sendiri. Tentunya dengan memperhatikan aturan hukum lain yang sejalan dengan masalah hukum adat. Tjahjo mencontohkan di Kemendagri, dari inventarisasi yang dilakukan, tercatat kurang lebih ada 40 perangkat hukum dari Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, Peraturan Walikota hingga Keputusan Kepala Daerah mengatur megenai masyarakat hukum adat.
Selain itu, Kemendagri juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 52 mengenai pedoman dan pengakuan serta perlindungan daripada masyarakat hukum adat.
"Saat ini terus dilakukan sosialisasi kepada seluruh daerah agar mempunyai pemahaman yang sama, pengakuan daripada masyarakat hukum adat sendiri," urai Menteri Tjahjo.
Mendagri mencermati tujuan daripada RUU MHA. Ia menekankan pentingnya pemetaan secara keseluruhan (antar Kementerian/Lembaga). Sebab dalam pemahamannya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melakukan pemetaan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional juga melakukan hal yang sama.
"Yang paling penting adalah adanya standar pemetaan peta tanah masyarakat hukuman adat yang telah disusun oleh Badan Informasi Geospasial," jelasnya.
Sementara itu, salah satu pencetus RUU MHA Luthfi A Mutty mengungkapkan legislatif butuh waktu tiga tahun memperjuangkan agar RUU MHA masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dirinya merasa lega karena akhirnya dibahas bersama-sama dalam forum raker bersama Pemerintah.
Ia mengatakan UU MHA diperlukan karena beberapa alasan. Selain sebagai perintah konstitusi, dengan adanya UU MHA ke depan diharapkan masyarakat adat lebih terlindungi secara hukum. Sebab bagaimanapun fondasi wawasan kebangsaan Bhinneka Tunggal Ika adalah MHA. Apabila membiarkan mereka tanpa pengakuan dan penghormatan sama saja pengingkaran atas wawasan kebangsaan.
"Sebagian besar MHA hidup dalam kemiskinan. Mereka miskin bukan karena takdir. Mereka miskin bukan karena malas. Mereka miskin bukan karena hidup di wilayah miskin. Justru mereka umumnya hidup di kawasan yang kaya sumber daya alam," ucap Luthfi.
"Baik hutan maupun tambang. Jadi mereka miskin karena banyak kebijakan negara yang tidak berpihak kepada mereka. Ini saya sebut mere mengalami kemiskinan struktural. Saya berharap kehadiran UU ini akan mengakhiri itu semua," sambung mantan bupati Luwu Utara itu.(p/ab)